Kamis, 27 Januari 2011

BAB II PTK Matematika CPS

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kerangka teori
Pembelajaran Matematika
Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan dengan membaca dan menggunakan pengalaman sebagai pengetahuan yang memandu perilaku pada masa yang akan datang. Belajar merupakan serangkaian jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 13). Bell-Gredler (1986:1) menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes). Fontana (1981), mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Winkel (2004: 59) belajar merupakan suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan – pemahaman, keterampilan dan nilai – nilai sikap. Pakar psikologi melihat perilaku belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan secara alami. Pakar pandidikan melihat perilaku belajar sebagai proses psikologis – pedagogis yang ditandai dengan adanya interaksi individu dengan lingkungan belajar yang disengaja diciptakan.
Ciri – ciri belajar antara lain Pertama, belajar harus memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada diri individu. Kedua, perubahan itu harus merupakan buah dari pengalaman. Ketiga, perubahan tersebut relatif menetap.
Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata ”instruction”. Menurut Gagne, Briggs, dan Wager (1992), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Instruction is a set of events that affect learners in such a way that learning is facilitated. (Gagne, Briggs, dan Wager, 1992, hal. 3). Pasal 1 butir 20 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni “ Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa (Suyitno, 2004:1)
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) Nomor 23 tahun 2006 disebutkan bahwa mata pelajaran Matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dalam simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri pembelajaran antara lain pertama, adanya inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa. Kedua, adanya interaksi yang sengaja diprogramkan. Ketiga, adanya komponen tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran yang saling berkaitan satu sama lain. Tujuan pembelajaran mengacu pada kemampuan atau kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu. Materi pembelajaran adalah segala sesuatu yang dibahas dalam pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran mengacu pada penggunaaan pendekatan, strategi, metode, dan teknik dan media dalam rangka membangun proses belajar, antara lain membahas materi dan melakukan pengalaman belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Proses pembelajaran dalam arti yang luas merupakan jantungnya dari pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa.
Macam – macam model pembelajaran antara lain model pengkondisian operant dari B.F. Skinner, model kondisi belajar dari Robert Gagne-Briggs, model pemrosesan informasi, model perkembangan kognitif dari Jean Piaget, model belajar sosial dari Albert Bandura, model atribusi dari Bernard Weiner, model creative problem solving dari George Polya.
Fungsi pembelajaran matematika (Erman Suherman, 2003: 56) adalah sebagai:
Alat
Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami dan menyampaikan suatu informasi.
Pola pikir
Belajar matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian – pengertian itu.
Ilmu dan pengetahuan
Matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima.
Menurut Gardner, kecerdasan seseorang bersifat jamak atau ganda yang meliputi unsur – unsur kecerdasan matematik, lingual, musikal, visual – spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
Kecerdasan matematika adalah kemampuan akal peserta didik untuk menggunakan angka – angka secara efektif dan berfikir secara nalar. Kecerdasan ini mencakup kepekaan terhadap pola – pola logis dan hubungannya, pernyataan – pernyataan, proporsi: jika – maka, sebab – akibat, fungsi – fungsi dan abstrak – abstrak yang saling berkaitan. Kecerdasan matematik memuat kemampuan peserta didik dalam berfikir secara induktif dan deduktif menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka – angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berfikir atau penalaran. Peserta didik dengan kecerdasan matematik yang tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berfikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya tersebut. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berfikir aktif, seperti catur dan bermain teka – teki.
Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan aritmetika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih luas daripada aritmetika. Aritmetika hanya merupakan bagian dari matematika. Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri. Menurut Dali S. Naga (1980:10), aritmetika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan - hubungan bilangan – bilangan nyata dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Definisi matematika
a. Johnson dan Myklebust (1967:244). Matematika adalah bahasa simbol yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan – hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berfikir.
b. Lerner (1988:430). Matematika disamping sebagai bahasa simbol juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.
c. Kline (1981:172). Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.
d. Paling (1982:1). Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan – hubungan.
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa matematika mempunyai pengertian yang berbeda – beda, tergantung dari sudut pandang yang ditinjau.
Beberapa dasar – dasar teori belajar yang dapat diterapkan untuk pengembangan dan atau perbaikan pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
Teori Thorndike
Teori Thondike desebut teori penyerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuan yang siap menerima pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike (1924), belajar dikatakan:
”learning in esentially the formation of connections or bonds between situations and responses... and that habit rules in the realm of thought as truly and as fully in the realm of action”. Thorndike (1924).
Pada prinsipnya teori Thorndike menekankan banyak memberi praktik dan latihan (drill and practice) kepada peserta didik agar konsep dan prosedur dapat mereka kuasai dengan baik.

Teori Ausebel
Teori makna (meaning theory) dari Ausebel (Brownell dan Chanal) mengemukakan pentingnya pembelajaran bermakna dalam mengajar matematika. Kebermaknaan pembelajaran akan membuat kegiatan belajar lebih menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga konsep dan prosedur matematika akan lebih mudah dipahami dan lebih tahan lama diingat oleh peserta didik. Teori ini juga disebut teori holistic karena mempunyai pandangan pentingnya keseluruhan dalam mempelajari bagian – bagian.
Teori Jean Piaget
Teori perkembangan intelektual dari Jean Piaget menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap, yaitu sensori motor (0-2 tahun), pra-operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional (≥11 tahun). Teri ini merekomendasikan perlunya mengamati tingkatan perkembangan intelektual anak sebelum suatu bahan pelajaran matematika diberikan, terutama untuk menyesuaikan “keabstrakan” bahan matematika dengan kemampuan berfikir abstrak anak pada saat itu.
Teori Vygotsky
Teori Vygotsky berusaha mengembangkan model konstruktivistik belajar mandiri dari Piaget menjadi belajar kelompok. Dalam membangun sendiri pengetahuannya, peserta didik dapat memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang beraneka ragam dengan guru sebagai fasilitator.
Teori Jerome Bruner
Teori Jerome Bruner berkaitan dengan perkembangan mental, yaitu kemampuan mental anak berkembang secara bertahap mulai dari sederhana ke yang rumit, mulai dari yang mudah ke yang sulit, dan mulai dari yang nyata atau konkret ke yang abstrak. Bruner menyebut tiga tingkatan yang perlu diperhatikan dalam mengakomodasikan keadaan peserta didik, yaitu enactive (manipulasi objek langsung), iconic (manipulasi objek tidak langsung), dan symbolic (manipulasi simbol).
Teori George Polya
George Polya (dalam posamentier) menyebutkan teknik heuristic (bantuan untuk menemukan), meliputi understand the problem, devise a plan, carry out the plan, dan look back.
Teori Van Hiele (hierarkis belajar geometri)
Teori Van Hiele menyatakan bahwa eksistensi dari lima tingkatan yang berbeda tentang pemikiran geometric, yaitu level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal), level 3 (deduksi), dan level 4 (rigor).
RME (realistic mathematics education)
Teori ini dimaksudkan untuk memulai pembelajaran matematika secara konstektual, yaitu mengaitkannya dengan situasi dunia nyata di sekitar siswa atau keadaan kehidupan sehari – hari. Teori ini dikembangkan oleh Freudenthal dan Treffers.
Peta Konsep
Peta konsep merupakan implementasi pembelajaran bermakna dari Ausebel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta, sehingga hubungan antara konsep menjadi jelas, dan keseluruhan konsep teridentifikasi.
Menurut Liebeck (1982:12) ada dua macam hasil belajar matematika yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu perhitungan matematis (mathematics calculation) dan penalaran matematis (mathematics reasoning). Berdasarkan hasil matematika semacam itu maka Lerner (1988:430) mengemukakan bahwa kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yaitu konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah.
Ada beberapa model yang bisa dipakai dalam pembelajaran matematika, antara lain:
Urutan belajar yang bersifat perkembangan (development learning sequences).
Belajar tuntas (matery learning).
Strategi belajar (learning strategies).
Penyelidikan matematis (mathematics investigation).
Penemuan terbimbing.
Kontextual learning.
Kreativitas Pemecahan masalah (creative problem solving).

2. Kreativitas Pemecahan masalah ( creative problem solving)
Pengertian masalah
Suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (chalange) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh pelaku (menurut Cooney dalam Fadjar Shadiq, 2004:10). Definisi di atas mengandung implikasi bahwa suatu masalah harus mengandung adanya ”tantangan” dan ”belum diketahuinya prosedur rutin”. Prosedur rutin di sini adalah soal yang penyelesaiannya sudah bisa ditebak, diketahui rumusnya, dan hanya dengan satu atau dua langkah soal sudah terselesaikan. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Bagi seseorang suatu pertanyaan bisa menjadi suatu masalah sedang bagi orang lain tidak.
Bila ditinjau dari kompleksitas masalah, Polya (dalam Hery Susanto, 2008:3) mengklasifikasikan masalah dalam matematika sebagai berikut:
One rule under your nose, jenis masalah yang dapat diselesaikan secara mekanis oleh suatu aturan yang baru saja disajikan.
Appication with some choice , jenis masalah yang dapat diselesaikan dengan menerapkan suatu aturan atau prosedur yang diberikan pada kelas sebelumnya.
Choice of combination, jenis masalah yang memerlukan pemecahan masalah dengan mengkombinasikan dua atau lebih aturan.
Approaching research level, jenis masalah yang memerlukan suatu kombinasi yang aneh dari aturan – aturan atau contoh namun masalah tersebut memiliki banyak cabang dan memerlukan kemandirian serta penggunaan penalaran tingkat tinggi yang cermat.
Kreativitas Pemecahan Masalah
Kreativitas pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal (Suwarkono, 2004:1). Model kreativitas pemecahan masalah adalah suatu cara pembelajaran dengan menghadapkan siswa kepada suatu masalah untuk dipecahkan atau diselesaikan (menurut Sriyono dalam Suprapto, 2004:19). Pemecahan masalah adalah aplikasi dari konsep dan keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang berbeda. Ciri utama pemecahan masalah dalam matematika adalah adanya masalah yang tidak rutin (non – routine problem). Masalah seperti ini dirancang atau dibuat agar siswa tertantang untuk menyelesaikan. Meskipun peserta didik awalnya mengalami kesulitan mengerjakan pemecahan masalah karena tidak ada aturan, prosedur atau langkah – langkah yang segera dapat digunakan, mereka menjadi terbiasa dan cerdas memecahkan masalah setelah mereka memperoleh banyak latihan. Banyak manfaat dari pengalaman memecahkan masalah, antara lain adalah peserta didik menjadi kreatif dalam berfikr, kritis dalam menganalisis data, fakta, dan informasi, mandiri dalam bertindak dan bekerja.
Sasaran utama kreativitas pemecahan masalah adalah soal yang mempunyai banyak selesaian (multiple solusion), soal yang diperluas (extending problem), dan soal yang mempunyai banyak cara menyelesaikan (multiple methods of solution). Kohesi (2000) mengungkapkan tiga kegiatan dalam pemecahan masalah, yaitu solving problem, posing problem, exploring open – ended problem.
Dalam kreativitas pemecahan masalah siswa didorong dan diberi kesempatan seluas – luasnya untuk berinisiatif dan berfikir sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya.
Langkah – langkah menyelesaikan masalah
Menurut Polya (dalam Mumun Syaban, 2008:2), ada empat langkah dalam menyelesaikan masalah yaitu:
Memahami masalah
Pada kegiatan ini yang dilakukan adalah merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
Merencanakan pemecahannya
Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan sifat yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian.
Melaksanakan rencana
Kegiatan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian
Kegiatan pada langkah ini adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Pengajuan masalah merupakan langkah kelima setelah empat langkah Polya dalam pemecahan masalah matematika (Gonzales, 1996). Berkaitan dengan pandangan ini, Brown dan Walter (1993) menjelaskan bahwa dengan melihat tahap – tahap kegiatan antara pengajuan dan pemecahan masalah, maka pada dasarnya pembelajaran dengan pengajuan masalah matematika merupakan pengembangan dari pembelajaran dengan pemecahan masalah matematika. Dukungan lain mengenai keeratan hubungan antara kedua model yang dimaksud di atas adalah tuntutan kemampuan siswa untuk memahami masalah, merencanakan dan menjalankan strategi penyelesaian masalah. Ketiga langkah tersebut juga merupakan langkah – langkah dalam pembelajaran dengan model pengajuan masalah matematika (Silver. Et. Al., 1996). Selain itu Cars (dalam Sutawidjaja, 1998) menegaskan bahwa untuk meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah matematika, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan jalan membiasakan siswa mengajukan masalah, soal, atau pertanyaan matematika sesuai dengan situasi yang diberikan oleh guru.
Model kreativitas pemecahan masalah
Menurut Polya dan Pasmep (dalam Fajar Shadiq: 2004:13) beberapa cara pemecahan masalah antara lain:
Mencoba – coba
Cara ini biasanya digunakan untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan masalah (trial and error). Proses mencoba – coba ini tidak akan selalu berhasil, adakalanya gagal. Proses mencoba – coba dengan menggunakan suatu analisis yang tajam sangat dibutuhkan pada penggunaan cara ini.
Membuat diagram
Cara ini berkait dengan pembuatan sket atau gambar untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaiaannya. Dalam cara ini, hal – hal yang diketahui tidak sekedar dibayangkan namun dapat dituangkan ke atas kertas.
Mencobakan pada soal yang lebih sederhana
Cara ini berkait dengan penggunaan contoh – contoh khusus yang lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga gambaran umum penyelesaiaan masalah akan lebih mudah dianalisis dan akan lebih mudah ditemukan.
Membuat tabel
Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran, sehingga segala sesuatunya tidak hanya dibayangkan saja.
Menemukan pola
Cara ini berkait dengan pencarian keteraturan – keteraturan. Keteraturan yang sudah diperoleh akan lebih memudahkan untuk menemukan penyelesaian masalahnya.
Memecah tujuan
Cara ini berkait dengan pemecahan tujuan umum yang hendak dicapai. Tujuan pada bagian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.
Memperhitungkan setiap kemungkinan
Cara ini berkait dengan penggunaan aturan – aturan yang dibuat sendiri oleh para pelaku selama proses pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak akan ada satu alternatif yang terabaikan.
Berfikir logis
Cara ini berkaitan dengan penggunaan penalaran ataupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada.
Bergerak dari belakang
Dalam cara ini proses penyelesaian masalah dimulai dari apa yang ditanyakan, bergerak menuju apa yang diketahui. Melalui proses tersebut dianalisis untuk dicapai pemecahan masalahnya.
Mengabaikan hal yang tidak mungkin
Menurut Davidoff (1988) terdapat dua faktor yang mempengaruhi keterampilan seseorang dalam memecahkan masalah, yaitu hasil belajar sebelumnya dan derajat kewaspadaan.
Hasil belajar sebelumnya. Bila suatu pengalaman masa lalu dapat membantu kita untuk memecahkan masalah pada saat ini, maka peristiwa ini disebut transfer positif. Memang seringkali terjadi bahwa pengalaman masa lalu dapat memperkaya kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Dalam transfer positif ini dikatakan bahwa seorang individu pada masa lalunya telah membentuk semacam perangkat belajar atau dapat dikatakan bahwa mereka telah mempelajari apa – apa yang harus dipelajari. Derajat kewaspadaan (arousal). Dalam pemecahan masalah seringkali juga membutuhkan adanya peranan dari derajat kewaspadaan (arousal), karena dalam kehidupan sehari – hari kita dalam menghadapi persoalan atau mempelajari sesuatu hal seringkali membutuhkan perangsangan terlebih dahulu. Perangsangan itu antara lain adalah pemusatan perhatian, emosi, kebutuhan, dan alasan – alasan lainnya.
Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan keterampilan memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan (K.L. Pepkin, 2004:1). Adapun proses dari model pembelajaran CPS, terdiri dari langkah – langkah sebagai berikut:
Klarifikasi masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian seperti apa yang diharapkan.
Pengungkapan pendapat
Pada tahap ini siswa dibebasakan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah.
Evaluasi dan pemilihan
Pada tahap evaluasi dan pemilihan, setiap kelompok mendiskusikan pendapat atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
Implementasi
Pada tahap ini siswa menentukan cara mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. (Pepkin, 2004:2).

Partisipasi Belajar
Partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegaitan (Made Pidarta, 1990: 33). Sedangkan menurut Depdiknas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia partisipasi adalah perihal turut berperan disuatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta.
Moelyarto Tjokrowinoto yang dikutip oleh Suryosubroto (1997: 2780 mendefinisikan partisipasi sebagai penyetaraan mental dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi terciptanya tujuan – tujuan bersama, bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
D. Sudjana (2000:55) menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif adalah ikut sertanya siswa dalam kegiatan pembelajaran.. Kegiatan peserta didik itu diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program (program planning), pelaksanaan program (program implementation), dan penilaian program (program evaluation) kegiatan pembelajaran.

Hasil Belajar
Hasil belajar adalah gambaran tingkat kemampuan penguasaan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Hasil belajar merupakan gambaran tingkat penguasaan siswa terhadap sasaran belajar pada topik bahasan yang dipelajari, yang diukur dengan berdasarkan jumlah skor jawaban benar pada soal yang disusun sesuai dengan sasaran belajar (Christiana Demaja W.S. 2004). Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002: 141) hasil belajar adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukan oleh individu. Menurut Benjamin S. Bloom (1966:7) ada tiga ranah (domain) hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran (Nana Sudjana, 1991: 23). Menurut A. J. Romiszowski (1981:217) hasil belajar merupakan keluaran (outputs) dari suatu sistem pemrosesan masukan (inputs).
Secara garis besar klasifikasi hasil belajar terbagi menjadi tiga ranah (Benyamin Bloom yang dikutip oleh Nana Sudjana, 1991:22), yaitu:
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
b. Ranah afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotoris
Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan persetual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran (Nana Sudjana, 1991:23).

5. Faktor yang Mempengaruhi Hasil atau Prestasi Belajar
Faktor yang mempengaruhi hasil belajar banyak jenisnya, tetapi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu siswa yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu.
a. Faktor-faktor Intern
Di dalam membicarakan faktor intern ini akan dibahas menjadi tiga faktor, yaitu:
1. Faktor Jasmani
a. Faktor Kesehatan
Agar orang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi, dan ibadah.
b. Cacat tubuh
Keadaan cacat tubuh dapat mempengaruhi belajar siswa. Siswa yang cacat belajarnya juga akan terganggu.
c. Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Belajar akan lebih berhasil jika anaknya sudah siap (matang). (Herman Hudoyo, 1990:2).
2. Faktor Psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut:
a. Inteligensi
Inteligensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat inteligensi rendah.
b. Perhatian
Perhatian menurut Gazali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi. Jiwa itu pun yang semata-mata tertuju kepada suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk menjamin hasil yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya.
c. Minat
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar sebaik-baiknya.
d. Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Jadi, jelaslah bahwa bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat dalam belajarnya itu.
e. Motivasi
Motivasi adalah tingkah laku atau kegiatan dalam rangka mengembangkan diri baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Menurut W. S. Winkel (Tim MKDK 1992:33) “Motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar, dan memberi arah pada kegiatan belajar demi mencapai suatu tujuan”. Jadi dalam hal ini motivasi mempunyai peranan penting untuk menumbuhkan gairah, merasa senang, dan bersemangat melakukan aktivitas belajar dengan segenap energi yang dimiliki secara optimal.
f. Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Belajar akan lebih berhasil jika anaknya sudah siap (matang). (Herman Hudoyo, 1990:2).
g. Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respons atau reaksi. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.
3. Faktor Kelelahan
Kelelahan ini mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik maka hindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya. Sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan.
b. Faktor-faktor Ekstern
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapat dikelompokkan ke dalam tiga faktor, yaitu:
1. Faktor Keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa:
a. Cara orang tua mendidik
b. Relasi antara anggota keluarga
c. Suasana rumah tangga, dan
d. Keadaan ekonomi keluarga
2. Faktor Sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, dan tugas rumah.
3. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat yang mempengaruhi kesulitan belajar anak antara lain:
a. Kegiatan siswa dalam masyarakat
b. Mass media
c. Teman bergaul
d. Bentuk kehidupan masyarakat
Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Suprijono (1991:130), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah:
1. Faktor dari dalam, meliputi:
a. Faktor jasmaniah atau fisiologis, misalnya pendengaran, penglihatan, struktur tubuh, dan sebagainya.
b. Faktor psikologis, antara lain:
1. Faktor intelektif, yang meliputi:
a. Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat
b. Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki
2. Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri.
c. Faktor kematangan fisik maupun psikis
2. Faktor dari luar, meliputi:
a. Faktor kematangan sosio, yang terdiri dari:
1. Lingkungan keluarga
2. Lingkungan sekolah
3. Lingkungan masyarakat
4. Lingkungan kelompok
b. Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, dan iklim.
Hipotesis
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:
2. Hipotesis atau alternatif tindakan I
”Guru menggunakan pendekatan pemecahan masalah, menerangkan langkah – langkah konsep kalimat matematika dengan memberi contoh – contoh konkret, menggunakan media manipulatif, mengaitkan materi dengan permasalahan sehari sehari siswa, memberi kesempatan bertanya dan berdiskusi pada siswa tentang operasi matematika dan memberi balikan secara langsung, sehingga keaktifan dan pemahaman siswa meningkat.”
2. Hipotesisi atau alternatif tindakan II
“Guru menjelaskan dengan menggunakan media manipulatif, meminta siswa menjelaskan langkah – langkah penyelesaiaan kalimat matematika serta merubah soal cerita tersebut berkait dengan permasalahan kehidupan sehari – hari siswa, mendiskusikan masalah dalam kelompok dan memberi balikan sehingga keaktifan dan kemampuan memahami konsep matematika dapat meningkat. “

Kerangka berfikir
Selama ini masih banyak guru yang mendesain siswa untuk menghafal seperangkat fakta yang diberikan oleh guru. Seolah – olah guru sebagai sumber utama pengetahuan. Setiap guru di kelasnya menghadapi siswa – siswa yang berbeda – beda satu sama lain, tidak seorangpun yang sama. Dalam kegiatan belajar mendapatkan pengetahuan masing – masing anak memiliki cara yang berbeda – beda, ada yang mengalami kesulitan atau masalah belajar ada yang tidak mengalami kesulitan belajar. Anak yang berkesulitan belajar cenderung pasif. Hasil penelitian Koppitz menunjukkan bahwa jika anak – anak berkesulitan belajar diberi waktu dan bantuan yang cukup mereka ternyata mampu mengerjakan tugas – tugas akademik secara baik, Lerner (1988:160). Kohlberg dan Gilligan yang dikutip oleh Gunarsa (1981:164) bahwa kesulitan pelajaran matematika karena adanya upaya untuk mengajarkan kepada anak yang masih berada pada tahapan operasi konkret dengan materi yang abstrak. Masih banyak guru dalam proses pembelajaran tidak menggunakan media benda konkret atau situasi yang nyata. Hal itu mengakibatkan kurangnya kreativitas berfikir dalam belajar yang dapat berpengaruh pada rendahnya hasil belajar siswa.
Untuk dapat meningkatkan kreativitas dan motivasi siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat memperoleh manfaat yang maksimal, baik dalam proses maupun hasil belajar siswa, guru harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menarik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memilih model pembelajaran yang dapat memberi kesempatan seluas – luasnya kepada siswa untuk berkembang kreativitas proses berfikir siswa.
Model creative problem solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa difikir, keterampilan memecahkan masalah memerlukan proses berfikir. Semakin banyak siswa dapat menyelesaikan setiap permasalahan matematika maka siswa akan kaya akan variasi dalam menyelesaikan soal – soal matematika dalam bentuk apapun, termasuk soal cerita. Bentuk soal matematika dalam SD berbentuk rutin ataupun tidak rutin.
Siswa yang mempunyai kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah matematika, besar kemungkinan akan mampu mengajukan masalah, soal atau pertanyaan matematika yang lebih berkualitas. Sebaliknya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematika yang kurang, kemungkinannya akan lebih banyak mengajukan masalah, soal, atau pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan atau respons mereka hanya berupa pernyataan.
Pada pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran CPS diharapkan kreativitas dan pemahaman siswa dalam pembelajaran matematika akan meningkat sehingga akhirnya hasil belajar siswa juga meningkat pula.

Indikator dan kriteria keberhasilan
Indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar siswa adalah jika siswa telah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan sebesar 70. Sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat motivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran operasi hitung campuran adalah tingkat keaktifan siswa selama pembelajaran.
Adapun secara klasikal kriteria keberhasilan diukur dengan kriteria sebagai berikut:
Proses perbaikan pembelajaran peningkatan hasil belajar siswa dinyatakan berhasil jika 75% siswa atau lebih dari jumlah siswa tuntas belajar, yaitu dengan mendapat nilai sesuai atau lebih dari 70.
Proses perbaikan pembelajaran peningkatan motivasi belajar siswa dinyatakan berhasil jika 70% siswa atau lebih dari jumlah siswa memiliki tingkat keaktifan belajar yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar